News

Home News and Events News Isi dan Poin-Poin ‘Omnibus Law’ UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan

Have a question?

News • 2020-10-20

Isi dan Poin-Poin ‘Omnibus Law’ UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan

Aspek-aspek yang merupakan poin dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster Perpajakan adalah:

a. Perubahan dalam UU PPh

1. Tidak Kena Pajak Dividen

Dividen yang diterima orang pribadi atau badan dikecualikan dari pajak dividen dengan syarat.

Penghasilan dividen yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang diperoleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi atau badan dikecualikan dari pengenaan pajak.

Syaratnya, dividen itu diinvestasikan di Indonesia.

Syarat berikutnya, dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan paling sedikit 30% dari laba setelah pajak, serta bagi WP Badan syaratnya sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia sebelum DJP menerbitkan surat ketetapan pajak dividen tersebut.

Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Cipta Kerja.

Jika dividen dan penghasilan setelah pajak dari suatu BUT di luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia kurang dari 30% dari jumlah laba setelah pajak, maka ketentuannya:

  • Atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan dikecualikan dari PPh
  • Atas selisih dari 30% laba setelah pajak dikurangi dengan dividen diinvestasikan dikenai PPh
  • Atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan tidak dikenai PPh

2. Tarif PPh dari Bunga Turun

Penurunan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga.

Ini merupakan penambahan dalam Pasal 26 tentang PPh pada klaster perpajakan UU Cipta Kerja, yakni pada ayat (1b) yang menyebutkan:

Tarif sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

3. Ketentuan Pemajakan WNI dan WNA

Penegasan tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).

Artinya, baik WNI maupun WNA memiliki kewajiban sama terkait pajak penghasilan di dalam negeri maupun ketika WNI berada di luar negeri.

Ketentuan ini merupakan perubahan pada Pasal 2 UU PPh.

Semua jenis penghasilan yang diperoleh WNA (orang atau badan) di wilayah hukum Indonesia menjadi objek pajak yang bisa dipungut pemerintah karena menjadi SPDN.

Sedangkan bagi WNI, dapat menjadi SPLN jika menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dan memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan tidak menjalankan usaha atau melalui BUT di Indonesia.

Berikut bunyi pasal tentang WNI atau WNA jadi subjek pajak dalam negeri di UU Cipta Kerja, yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a:

Orang pribadi yang merupakan WNI maupun WNA, yang;

  1. Bertempat tinggal di Indonesia;
  2. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
  3. Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia

Bunyi pasal tentang WNI atau WNA yang jadi subjek pajak luar negeri di UU Cipta Kerja, tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, b, c, dan d:

  1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
  2. WNA yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  3. WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi persyaratan:
  4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

4. Tidak Dikenakan Pajak

Pengecualian dari objek pajak untuk WNA.

Artinya, bagi WNA yang merupakan subjek pajak dalam negeri akan dikecualikan dari objek pajak alias tidak dikenakan pajak penghasilan jika tidak memenuhi kriteria tertentu sesuai ketentuan.

Ini merupakan penambahan dalam Pasal 4 tentang PPh pada klaster perpajakan di Pasal 111 UU Cipta Kerja.

Disebutkan, dalam Pasal 4 ayat (1a), bahwa WNA yang telah menjadi SPDN dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:

  • Memiliki keahlian tertentu
  • Berlaku selama 4 tahun pajak yang dihitung sejak menjadi SPDN

Tapi pengecualian pengenaan PPh tidak berlaku bagi WNA yang memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra.

Semua Pasal 4 ayat (1a), ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan PPh bagi WNA tersebut akan diatur dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan).

5. Pengaturan Dana Setoran Haji

Pengelolaan dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

Terkait pengelolaan dana setoran BPIH ini merupakan penambahan dalam Pasal 4 tentang PPh pada klaster perpajakan Pasal 111 UU Cipta Kerja, yakni huruf o dan p.

Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf o, disebutkan:

Dana setoran BPIH dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang ketentuannya diatur dalam PMK.

Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf p, tertulis:

Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan usaha atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK.

b. Perubahan UU PPN dan PPnBM di UU Cipta Kerja

1. Pengkreditan Pajak Masukan

Relaksasi PPN termasuk pengkreditan pajak masukan PPN.

Pelonggaran terkait pengkreditan Pajak Masukan dalam klaster perpajakan pada Pasal 112 UU Cipta Kerja.

Merujuk pada Pasal 9 ayat (2a), PKP dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan walaupun:

  • PKP belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP, Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP.
  • PKP yang impor BKP.
  • PKP memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Sementara itu, beberapa ketentuan pada Pasal 9 ayat (8) terkait pengkreditan Pajak Masukan yang tidak dapat dilakukan bagi pengeluaran seperti berikut ini telah dihapus:

  • Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
  • Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
  • Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
  • Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
  • Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi sebagaimana pada ayat (2a).

Dengan dihapusnya beberapa ayat 8 Pasal 9 tersebut, artinya berbagai jenis pengeluaran yang dilakukan atas BKP/JKP tersebut dalam UU Cipta Kerja, Pajak Masukannya dapat dikreditkan.

Dari penghapusan beberapa ketentuan pada huruf Pasal 9 ayat (8) tersebut, maka ada penambahan dalam pasal ini yang masih berkaitan dengan poin yang dihapus dan tercantum pada Pasal 9 ayat (9a), (9c), dan (9c), diantaranya:

  • Pengkreditan Pajak Masukan 80% dari Pajak Keluaran

Dari perolehan BKP/JKP ataupun pemanfaatan BKP tidak berwujud maupun JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sebesar 80% dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.

  •  Dapat mengkreditkan BKP/JKP belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN

PKP dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP, impor BKP/JKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

  • Mengkreditkan Pajak Masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak

PKP dapat mengkreditkan Pajak Masukan dari BKP/JKP, impor BKP/JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak, sebesar jumlah pokok PPN yang tercantum dalam ketetapan pajak, dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai UU ini.

2. Masa Pengkreditan Pajak Masukan

Dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama pada masa pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak saat Faktur Pajak dibuat.

Hal ini tertuang dalam Pasal 9 ayat (9) yang menyebutkan:

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai UU ini.

3. Membuat Faktur Pajak Tanpa Identitas Pembeli

Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli.

Hal ini tertuang dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja klaster perpajakan pada Pasal 13 ayat (5a) yang mengatur pembuatan Faktur Pajak oleh PKP pedagang eceran, yang berbunyi:

PKP pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir, yang diatur lebih lanjut dengan PMK.

c. Perubahan UU KUP di UU Cipta Kerja

1. Penurunan Sanksi Telat dan Kurang Bayar Pajak

Penggunaan tingkat suku bunga acuan untuk sanksi terlambat dan kurang bayar pajak.

Pengenaan sanksi terlambat dan kurang bayar pajak sebesar 2% per bulan dalam UU KUP.

Pada UU Cipta Kerja, diubah menjadi disesuaikan dengan tingkat atau tarif suku bunga acuan per bulan.

  • Jika pembetulan SPT dan utang pajak jadi lebih besar

Apabila WP membetulkan sendiri SPT-nya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka sanksinya dikenakan tarif bunga per bulan yang ditetapkan Menkeu dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Hal ini tertuang dalam Pasal 8 ayat (2b).

  • Jika tidak melunasi SPT yang kurang bayar

Apabila WP tidak melunasi SPT kurang bayar akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian sesuai batas waktu yang ditentukan, akan dikenakan tarif bunga per bulan yang ditetapkan Menkeu dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dan dibagi 12.

Dengan metode penghitungan baru ini hasilnya bisa lebih rendah dari sanksi sebelumnya yang ada pada UU KUP.

Contoh:

Misal tingkat bunga acuan 8% kemudian ditambah 5% lalu dibagi 12. Maka hasilnya sanksi dendanya sebesar sekira 1,08%.

2. Penurunan Sanksi Pelaporan Pajak Tidak Sesuai

Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tidak benar dikenakan denda 100%

Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang bayar pada saat pengungkapan pelaporan pajak yang tidak benar ini lebih rendah dari yang sebelumnya tertulis pada UU KUP yang sebesar 150%.

Sanksi ini dikenakan pada WP, yang:

  • Tidak menyampaikan SPT
  • Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

Ketentuan sanksi administrasi berupa denda 100% dari jumlah pajak terutang ini tertuang dalam Pasal 8 ayat (3a).

d. Perubahan UU PDRD di UU Cipta Kerja

Sinkronisasi pajak daerah.

Dalam Pasal 156 A pada UU Cipta Kerja terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk mengevaluasi rancangan peraturan daerah maupun peraturan daerah yang sudah ada terkait PDRD.

Ketika suatu perda dinyatakan sudah dicabut oleh presiden, maka pemda tidak bisa lagi menerapkan perda terkait PDRD tersebut. Jika melanggar, dikenakan sanksi penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil.

Itulah beberapa poin-poin perubahan maupun penambahan dari undang-undang perpajakan yang dimasukkan dalam UU Cipta Kerja yang bisa dijadikan informasi tambahan bagi Anda pelaku usaha dan lainnya untuk menunjang aktivitas perpajakan.

 

Sumber: klikpajak.id

See more News items